87 research outputs found

    THE EFFECT OF ATTRACTOR MATERIAL ON PELAGIC FISH CAPTURED USING PAYANG BUGIS IN PASAURAN WATERS, PROVINCE OF BANTEN

    Get PDF
    Rumpon (fish aggregating device) as an auxiliary gear operated in Pasauran waters, Sunda Strait was longer and more widely used in Indonesia to catch pelagic fish. The characteristic speciescomposition, size, and gonado somato index (GSI) pelagic fish around 3 kinds of rumpon attractor materials, i.e. Cocos nucifera, Nypa fructican, and Areca catechu leaves will determine the effects of attractor materials will affect the sustainability of pelagic fish associated. Identification and composition length, weight and gonado somato index pelagic fish were identified in this research with different attractor material in all seasons. Experimental fishing carried out by using payang Bugis. The result show that the Cocos nucifera leaves are the best attractor material based on the number of fish species and durability in all seasons. Further, the gonado somato index of small pelagic fish were caught around rumpon are gonado somato index I 4%, gonado somato index II 33%, gonado somato index III 35%, gonado somato index IV 25%, and gonado somato index V 3%. Pelagic fish around attractor materials have gonado somato index I-III 72%. This result indicated that the small pelagic fish caught around rumpon are immature fish

    Produktivitas dan Pola Musim Tangkap Ikan Peperek (Leiognathus spp.) di Teluk Banten

    Get PDF
    Ponyfish (Leiognathus spp.) is one of the dominant types of fish landed at the Nusantara Fishing Port (PPN) Karangantu. Its high-intensity fishing activities are feared to cause future problems with the sustainability of ponyfish resources. This study aims to calculate fishing productivity, sustainable optimal fishing effort, maximum sustainable catch, and determine the pattern of fishing season in Banten Bay. The research was conducted from April to June 2021 at PPN Karangantu. The fishing gear analyzed were fixed lift nets, floating lift nets, and seine nets. Fishing productivity was calculated from catch per unit effort; the maximum sustainable catch was analyzed using the Schaefer, Fox, and Walter-Hilborn regression models. The seasonal pattern of the ponies was determined from the Fishing Season Index. The results showed that pony fishing productivity in PPN Karangantu decreased from 2016 to 2020. The optimum fishing effort value and the optimum catch through the Schaefer model were 2088 trips/year and 276.12 tons/year, respectively; the highest fishing season occurred in November (145.5%) and the lowest in May (70.2%). Based on the analysis of the Schaefer, Fox and Walter-Hilborn models, the exploitation of Ponyfish (Leiognathus spp.) in Banten Bay can be said to be over-exploited.   Keywords: catching season, Banten bay, Leiognathus spp., productivit

    PERBEDAAN BAHAN ATRAKTOR TERHADAP HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DENGAN MENGGUNAKAN PAYANG BUGIS DI PERAIRAN PASAURAN, PROVINSI BANTEN

    Get PDF
    Rumpon (Fish Aggregating Device) as an auxiliary gear operated in Pasauran waters, Sunda strait was longer and more widely used in Indonesia to catch pelagic fish. The characteristic species composition, size and Gonado Somato Index (GSI) pelagic fish around 3 kinds of rumpon attractor materials, i.e. Cocos nucifera, Nypa fructican and Areca catechu leaves will determine the effects of attractor materials will endanger the sustainability of pelagic fish associated. Identification and composition length, weight and GSI pelagic fish were identified in this research with different attractor material in all seasons. Experimental fishing carried out by using payang Bugis. The result show that the Cocos nucifera leaves are the best attractor material based on the number of fish species and durability in all seasons. Further, the GSI of small pelagic fish were caught around rumpon are GSI I 4 %, GSI II 33%, GSI III 35 %, GSI IV 25% and GSI V 3 %. Pelagic fish around attractor materials have GSI I-III 72%. This result indicated that the small pelagic fish caught around rumpon are ‘immature fish”.Rumpon laut dangkal sebagai alat bantu dalam penangkapan ikan di perairan sekitar Pasauran, Selat Sunda telah lama dan semakin banyak digunakan di Indonesia untuk menangkap ikan pelagis. Karakteristik komposisi jenis, ukuran dan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan pelagis yang tertangkap di sekitar rumpon dengan menggunakan tiga bahan atraktor yang berbeda yaitu daun kelapa (Cocos nucifera), daun pinang (Nypa fructican) dan daun nipah (Areca catechu) akan menentukan apakah pengaruh bahan atraktor yang digunakan akan membahayakan kelestarian ikan pelagis yang berasosiasi. Identifikasi dan komposisi panjang, berat dan TKG ikan pelagis dilakukan dengan menggunakan bahan atraktor yang berbeda pada setiap musim dalam penelitian ini. Experimental fishing dilakukan dengan menggunakan alat tangkap payang Bugis. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa atraktor daun kelapa merupakan bahan atraktor yang terbaik yang dapat digunakan sebagai atraktor pada rumpon dilihat dari hasil tangkapan serta daya tahan di suatu perairan pada setiap musim. TKG ikan pelagis kecil yang tertangkap di sekitar rumpon memiliki TKG I 4%, TKG II 33%, TKG III 35%, TKG IV 25% dan TKG V 3%. Ikan hasil tangkapan di sekitar rumpon dengan bahan atraktor yang berbeda memiliki TKG I-III sebesar 72% sehingga dapat dipastikan bahwa ikan-ikan yang berkumpul dan tertangkap di sekitar rumpon adalah ikan yang belum memijah atau belum dewasa, sehingga ikan tersebut tidak sempat melakukan reproduks

    Modeling Mackerel Tuna (Euthynnus affinis) Habitat in Southern Coast of Java: Influence of Seasonal Upwelling and Negative IOD

    Get PDF
    We used fishery catch data from Cilacap Fishing Port and Copernicus data set in July 2016-December 2017 to investigate the impacts of Indian Ocean Dipole (IOD) on upwelling and mackerel tuna distribution in the southern coast of Java. This study implemented a Generalized Additive Model (GAM) for habitat prediction of mackerel tuna in the waters. The present study showed that the extreme negative IOD in 2016 caused a weaker southeasterly wind and even a reversal to the northwesterly wind, as seen off Sumatra in September 2016. The situation produced vertically mixed layer thickening and no upwelling during the southeast monsoon event 2016, consequently resulted in warmer temperature and fewer Chlorophyll-a (Chl-a) compared to the southeast monsoon event 2017. The mackerel tuna production significantly dropped in 2016 and rose in 2017, particularly during the upwelling event. The high Habitat Suitability Index (HSI) was found in southern Central Java in July 2017, expanded bigger in August 2017, and decreased in September 2017. During July and August 2016, the high HSI covered only a less area in the region and disappeared in September 2017. The high HSI indicates that the oceanographic factor is consistent with the catch probability of mackerel tuna

    Perbaikan Konstruksi Bubu Elver Skala Laboratorium (Correction of Elver Trap Contruction in Laboratory Scale)

    Full text link
    PVC trap is used by fisherman in Java Island, southern waters to capture elver, or juvenileeels measuring < 10 gr. The problems are that trap catches too less and elver in injured condition,while buyers need a lot of good elvers for cultivating. This study tried to fix a trap construction sothat function more effective and doesn't hurt elver. All experiments were conducted in the FishingGear Laboratory, Bogor Agricultural University. Three sections of traps were examined were therear cover of trap construction, entrance of trap construction and application two doors of traps.Furthermore, new traps made by three criteria were obtained. The entire test was conducted in theexperimental tank containing between 30-100 elvers. The test was done as much as 20-25 timeswith 20 minutes soaking time. The results showed that more elvers enter the trap which does notseal, the entrance was made from nets and had two doors of the trap. The construction trap basedon three criteria was more effective which could trap 355 elvers or 6.12 times more than thefisherman's trap (58 elvers)

    KONSTRUKSI PERANGKAP LIPAT UNTUK MENANGKAP LOBSTER AIR TAWAR (Cherax sp.)

    Get PDF
    Bubu merupakan alat tangkap pasif yang dioperasikan di dasar perairan. Pengoperasian alat tangkap bubu dilakukan dengan cara perendaman untuk menangkap hewan demersal. Salah satu kontruksi bubu yang banyak digunakan adalah bubu lipat diantaranya bubu payung. Bubu payung banyak digunakan di Belitung Timur untuk menangkap organisme air seperti lobster air tawar. Bubu payung standar memiliki kekurangan yaitu sulit dimasuki lobster. Lobster yang telah terperangkap juga mudah keluar dari pintu masuk, sehingga bubu standar tidak efektif untuk menangkap lobster air tawar. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengoptimalkan bubu adalah dengan memperbaiki konstruksi pintu masuk agar lobster mudah memasuki bubu dan sulit ketika meloloskan diri. Penelitian bertujuan unutk menentukan konstruksi pintu yang tepat dan membandingkan hasil tangkapan antara bubu pintu standar dengan pintu modifikasi. Seluruh penelitian dilakukan pada skala laboratorium. Penelitian menggunakan akuarium dan kolam. Uji konstruksi pintu bubu dilakukan di akuarium sedangkan uji makanan dan uji bubu dilakukan di kolam. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa konstruksi pintu bubu yang tepat adalah memiliki pintu luar menyentuh dasar bubu, sudut lintasan 40˚ dan bentuk pintu bagian dalamnya persegi panjang. Bubu modifikasi mampu memerangkap lobster sebanyak 76,92%, sedangkan bubu standar sebanyak 23,08% dari seluruh hasil tangkapan. Bubu standar mampu meloloskan lobster sebanyak 78,79%, sedangkan bubu modifikasi hanya sebanyak 21,31%. Umpan yang disarankan untuk uji coba adalah ikan laisi (lemuru). Kata kunci: bubu payung, lobster air tawar, umpa

    PENGARUH TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN TERHADAP DEGRADASI DAERAH PENANGKAPAN LOBSTER DI TELUK PALABUHANRATU

    Get PDF
    Produktivitas tangkapan dan ukuran panjang lobster di Teluk Palabuhanratu cenderung semakin menurun, dan hal ini merupakan suatu indikasi bahwa daerah penangkapan ikan telah terdegradasi. Degradasi daerah penangkapan ikan ini dapat terjadi sebagai akibat adanya tekanan teknologi penangkapan ikan, seperti eksploitasi sumber daya ikan sudah mencapai overfishing dan hasil tangkapan pun didominasi oleh kategori illegal size. Kegiatan riset tentang teknologi penangkapan dalam kaitannya dengan timbulnya degradasi daerah penangkapan lobster di Teluk Palabuhanratu belum pernah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknologi penangkapan yang mempengaruhi degradasi daerah penangkapan lobster di Teluk Palabuhanratu. Data yang dibutuhkan untuk tujuan tersebut adalah daerah penangkapan ikan, metode penangkapan, dan armada penangkapan lobster. Data tersebut diperoleh melalui observasi dan wawancara terhadap responden. Responden ditetapkan dengan teknik snowball sampling. Alat penangkapan lobster di Teluk Palabuhanratu menggunakan jaring insang dasar dan trammel net. Teknologi dengan jaring insang dasar memiliki potensi yang lebih besar menyebabkan degradasi sumber daya lobster dan habitatnya. Teknologi penangkapan ikan dengan pancing lebih berwawasan lingkungan dibandingkan dengan jaring insang dasar dan trammel net. Perahu trammel net lebih mudah dioperasikan untuk menangkap lobster dibandingkan dengan jaring insang dasar dan pancing di Teluk Palabuhanratu. Kata kunci: degradasi, lobster, Palabuhanratu, snowball sampling, teknologi penangkapa

    ASPEK BIOTEKNIK DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA RAJUNGAN DI PERAIRAN TELUK BANTEN

    Get PDF
    Perikanan Indonesia mempunyai potensi sumberdaya ikan laut yang besar. Salah satu potensi perikanan laut tersebut adalah rajungan (Portunus pelagicus). Rajungan merupakan salah satu jenis Crustracea yang populer di masyarakat dan keberadaannya hampir tersebar di seluruh Perairan Indonesia. Permasalahan yang biasa terjadi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah permasalahan biologi yaitu dapat menyebabkan penurunan stok sumberdaya ikan dan penurunan penerimaan nelayan. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan salah satu cara yang digunakan oleh para ahli biologi perikanan, yaitu melakukan pengendalian intensitas dalam mengeksploitasi sumberdaya rajungan, sehingga dapat dicapai produksi maksimum lestari. Pengusahaan tersebut harus memberikan manfaat ekonomi yang maksimum bagi nelayan. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mendeskripsikan unit penangkapan jaring rajungan yang terdiri atas konstruksi alat tangkap, metode pengoperasian, dan produktivitas alat tangkap jaring rajungan; 2) Menentukan pengaruh aktivitas pemanfaatan sumberdaya rajungan terhadap tingkat biomass, tingkat produksi dan sustainable di Perairan Teluk Banten. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung oleh peneliti dengan melakukan wawancara langsung kepada nelayan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya dan melakukan pengamatan mengenai unit penangkapan rajungan di Perairan Teluk Banten. Data sekunder diperoleh dari Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Karangantu dan Dinas Perikanan Provinsi Banten yang berupa data time series dari Tahun 2000-2008. Penelitian menggunakan data time series Tahun 2000-2008 diolah menggunakan Microsoft Office Excel. Konstruksi jaring rajungan terdiri atas badan jaring, tali ris, pelampung, tali pelampung, pemberat timah, tali pemberat, pelampung tanda, tali pelampung tanda, pemberat batu, dan tali pemberat batu. Produktivitas alat tangkap jaring rajungan pada Tahun 2008 sebesar 209,37 kg per unit, sedangkan Tahun 2010 sebesar 320 kg per unit. Produktivitas alat tangkap jaring rajungan pada Tahun 2008 sebesar 10,72 kg per trip dan Tahun 2010 sebesar 5,33 kg per trip. Produktivitas alat tangkap jaring rajungan per biaya operasional Tahun 2010 sebesar 0,0000676 kg per rupiah. Jumlah unit penangkapan jaring rajungan yang optimum untuk beroperasi di Perairan Teluk Banten adalah sebanyak 178 unit

    IMPACT OF FISH AGGREGATING DEVICE ON SUSTAINABLE CAPTURE FISHERIES

    Get PDF
    The use of rumpon, a type of Fish Aggregating Device (FAD), has been traditional in Indonesia, particularly in eastern Indonesia waters since time immemorial (Reuter 1938; Nasution et al. 1986; Monintja 1976). The traditional tuna fishermen in Mamuju waters in the Province of South Celebes have used rumpons for a long time, although there is no record when the device was first used (Nasution et al. 1986). Any structure designed or made to attract free schooling fishes: rumpon (Indonesia), tendak (West Java), uncang (Sumatera), rompong (Sulawesi), payaos (Philippines). Local fishermen claimed that they learned how to construct the rumpon from their ancestors, but did not apply the device extensively until 1985 because of the low profitability of catching the swift swimming fishes. The use of rumpon for fishing activities has improved the effectiveness and efficiency of several fishing gear. However, the fast growing of rumpon utilization has raised a great concern on the sustainability of the fish resources. The rumpon management for responsible fisheries should consider the aspects of biology, location, environment, fishing gear, social and economic. The existing condition of rumpon has not fully understood and its usage in a responsible manner further elaboration also needed. For that purpose, the information of the past and present situation of rumpon in Indonesia will be important for further management. The main data were collected and compiled from various references, annual report of the Directorate General of Fisheries and research report of Central Research Institute for Fisheries. Additional data were made available from local fisheries agencies or related institutions. Structure of the rumpon installed in the Provinces of North Sumatera, West Sumatra, Lampung, West Java, East Java, North Celebes, Central Celebes, South Celebes, maluku and Papua are given in detail. There are 2 types of rumpon : the deep sea rumpon and shallow water rumpon. The differences among the rumpons in those areas are mostly found in material of mooring line, shape and material of float and structure of the attracting components. The mooring line is mostly made of polyethylene of 12-25 mm in diameter or nylon of 5-10 mm in diameter. There are wide variations of shape of floats. Generally they are divide into pontoon type or box shape made of steel and raft type made of bamboos. Attractors are made of coconut leaves, nipah leaves and pinag leaves. Some attractors are attached to the mooring line and the others are hung down from the float. They are operated in wide range of water depth from 20 to 1500 m. The fishing ground conditions, bottom topography and bottom configuration are among the factors considered for the rumpon design and construction. The differences in construction are mainly due to the rumpon location, target species in each area and the fishing gear applied. Keywords : fish aggregating device, rumpon, sustainable fisheries, Indonesia

    PENGUKURAN SEBARAN FREKUENSI SUARA RUMPON PORTABLE PADA FREKUENSI YANG BERBEDA

    Get PDF
    Rumpon portable dioperasikan untuk mengumpulkan ikan menggunakan suara, di mana ikan dapat mendeteksi suara menggunakan inner ear (telinga dalam), gelembung renang, dan linea lateralis. Ikan yang mendekati sumber suara dikategorikan sebagai ikan acoustictaksis positif, sedangkan ikan yang menjauh dari sumber suara disebut acoustictaksis negatif. Pada rumpon portable, suara yang dikeluarkan dapat merambat di perairan. Suhu dan salinitas berpengaruh terhadap gelombang suara yang merambat pada kolom perairan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengukur frekuensi suara rumpon portable dengan frekuensi 1.000-5.000, 6.000-10.000, 11.000-15.000 Hz pada skala laboratorium, mengukur frekuensi suara rumpon portable dengan frekuensi 11.000-15.000 Hz pada skala lapangan di Palabuhanratu. Penelitian ini dilakukan dengan pengukuran langsung di lapangan sebanyak 3 kali ulangan di setiap frekuensinya. Hasil dari laboratorium menunjukkan pada frekuensi 11.000-15.000 Hz memiliki noise yang sedikit. Hasil pengukuran di lapangan menunjukkan adanya perbedaan amplitudo di setiap waktu dan jarak dikarenakan adanya faktor suhu, salinitas dan faktor lingkungan lainnya seperti arus dan angin. Gelombang suara yang dapat dideteksi di kedalaman 2 meter dan 6 meter secara horizontal. Kata kunci: experimental fishing, frekuensi, Palabuhanratu, rumpon portabl
    corecore